Harus Berani Lapor Kekerasan
Harus Berani Lapor Kekerasan
Dr Rismiyati E Koesma, Psikolog*
PUNCAK gunung es barang kali menjadi frase yang cukup tepat menggambarkan fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia saat ini. Hanya sedikit yang terlihat dan terungkap, serta menyisakan banyak tabir kasus dan persoalan yang belum terselesaikan, bahkan belum tersentuh.
BENTUKNYA tak hanya terbatas fisik, tetapi kini merambah jagad dunia maya. Kekerasan berbasis gender online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi dapat didefinisikan sebagai Tindakan yang dilakukan melalui medium teknologi dengan niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Jika tidak berdasarkan gender, maka kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan umum di ranah digital. Kekerasan online tersebut penting dibedakan karena bentuk kekerasan akan menentukan upaya pencegahan dan solusi yang dilakukan.
Berbeda dengan kekerasan yang terjadi di dunia nyata, ketika terjadi KBGO maka solusinya bukan semata penegakan hukum. Yang itu pun masih mengalami banyak kendala dalam penerapannya. KBGO memerlukan intervensi yang mampu mengubah cara pandang pelaku terkait relasi gender dan seksual dengan korban.
Tanpa intervensi, setelah hukuman pun, pelaku akan hidup dengan cara pandang yang sama terhadap relasi gender dan seksual yang bias.
Secara umum, Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Per lindungan Anak (Kemen PPPA) terda pat 11.266 kasus dan 11.538 perempuan yang menjadi korban kekerasan pada 2022. Dari jumlah itu, sebesar 47,52% merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 48,6% korban kekerasan fisik. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Pada Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018, ditemukan bahwa 2 dari 3 anak laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami salah satu kekerasan dalam hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual, maupun emosional. Data Sistem Informasi Online (Simfoni) Kemen PPPA menun jukkan, kasus kekerasan yang menim pa para kor ban terjadi di berbagai tempat.
Kasus terbanyak, terjadi dirumah tangga, fasilitas umum, dan tempat yang masuk dalam kategori lainnya. Kasus kekerasan di sekolah dan tempat kerja, memiliki jumlah yang relatif rendah. Sementara itu, SNPHAR pada 2021 menemukan, satu dari tiga perem puan korban kekerasan yang berusia 13-17 tahun mengalami gangguan emosional, seperti cemas, putus asa, gelisah, dan merasa tidak berharga. Lebih parah, 25% korban menyakiti diri sendiri, 16% memiliki pikiran untuk bunuh diri, dan 8% mencoba bunuh diri.
Berbagai data tersebut menunjukkan, sudah sedemikian gawatnya persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia, baik di dunia nyata maupun maya. Psikolog yang juga merupakan pegiat Yayasan JaRI (Jaringan Relawan Independen) Dr Rismiyati E Koesma mengatakan, kondisi kasus kekerasan yang seperti gunung es terjadi lantaran setiap korban rata-rata memilih diam dan tidak melakukan pengobatan. Dia telah bergabung dengan yayasan ini sejak 26 tahun silam.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan persoalan yang perlu diselesaikan. Namun, korban kekerasan kerap tidak menyuarakan apa yang mereka alami, baik itu kekerasan secara fisik, mental, maupun seksual. Banyak di antara korban yang kesulitan melapor atau tak berani melaporkan kekerasan yang mereka alami. “Korban lebih banyak memendam kekerasan ini, dengan harapan akan hilang dengan sendirinya. Namun dalam kenyataannya, tindak kekerasan ini sebenarnya merupakan trauma yang sulit untuk dihilangkan dari ingatannya,” ucap perempuan yang akrab disapa Tetty ini. Tiga kekerasan terbanyak yang ditemukan, yakni kekerasan seksual, kekerasan verbal, fisik, maupun ekonomi.
Sebagai psikolog dan anggota Yayasan JaRI, perempuan kelahiran Ungaran, 23 Februari 1950 ini ikut membantu perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan di wilayah Bandung dan sekitarnya. Saat ini di Yayasan JaRI, ia memegang tugas sebagai penasihat dan pendamping dari para sukarelawan, hingga menjadi pendamping perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
Dia juga mendorong agar para korban berani melaporkan kekerasan yang mereka alami. Yayasan JaRI adalah suatu organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) nirlaba dengan dukungan sukarelawan, yang bergerak dalam pencegahan dan penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Yayasan ini melayani konseling psikologi, pelayanan kuratif, visum et repertum, dan pendampingan hukum terhadap klien. Semua pelayanan Yayasan JaRI bisa diakses secara gratis. Bagaimana kiprah Tetty dalam pendampingan terhadap perempuan dan anak-anak korban kekerasan, dan bagaimana pandangannya mengenai kasus-kasus yang cukup pelik tersebut?
Berikut petikan wawancaranya dengan Wartawan Pikiran Rakyat Endah Asih Lestari.
Bergabung dengan Yayasan JaRI sejak 1998, bagaimana ke cenderungan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak yang terjadi pada dekade itu dibandingkan dengan saat ini?
Awalnya, saat Reformasi, banyak korban kekerasan seksual yang datang ke RS Borromeus, Bandung. Korban datang dari Jakarta maupun dari Bandung. Saya kemudian memu tuskan untuk bergabung dengan Yayasan JaRI sebagai sukaelawan yang secara sukarela mem bantu perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Korban kekerasan yang datang meminta pertolongan ke JaRI di lakukan secara diam-diam, karena korban saat itu belum berani meminta bantuan. Sekarang, korban datang secara langsung. Bahkan selama pandemi, JaRI menangani korban kekerasan dari seluruh Indonesia karena penanganan dilakukan secara online.
Bagaimana kondisinya saat pandemi Covid-19?
Jumlah korban saat pandemi termasuk yang paling tinggi dibandingkan sekarang. Sekarang di Bandung, sudah banyak yayasan lain yang bermunculan untuk menangani korban kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga penanganan bisa di lakukan secara bersama-sama dan holistik.
Sejauh ini, bagaimana proses pendampingan yang dilakukan JaRI? Kasus-kasus apa saja yang dominan dikawal?
Proses bantuan yang diberikan JaRI ada beberapa macam, yaitu penanganan langsung saat korban datang langsung ke kantor JaRI atau via online. Korban yang datang bervariasi, mulai dari perempuan yang mengalami kekerasan oleh suami, seperti dipukul, disundut, dibenturkan kepala, dipaksa melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, atau bahkan dimarahi yang merupakan kekerasan verbal secara berkala, diancam, diminta melakukan seksual untuk mendapat uang, dan sebagainya. Penanganan yang dilakukan berupa pengobatan secara medis atas luka yang diderita korban, sampai melakukan visum untuk keperluan bukti pengadilan demi mendapatkan keadilan.
Korban yang datang ke JaRI rata rata sudah kasip, artinya tidak segera setelah kejadian. Kebanyakan, setelah mengalami kekerasan dalam Waktu lebih dari satu bulan. Pada kondisi itu, luka fisik rata-rata sudah hilang, sehingga agak sulit mendapatkan bukti dari kekerasan yang terjadi. Meski demikian, penanganan secara psikologis tetap dilakukan.
Mulai pada titik apa, korban bisa mendapatkan penanganan secara psikologis?
Setelah mendapat pengobatan secara medis, baru dilakukan penanganan secara psikologis. Biasanya, saat itu korban merasa lebih tenang.
Hal yang penting dilakukan, yakni agar lebih merasa nyaman dan ikhlas bahwa mereka adalah korban kekerasan yang dilakukan pelaku pada dirinya. Penanganan secara psikologis biasanya memerlukan waktu panjang. Untuk mengobati luka batin korban, biasanya memerlukan waktu minimal satu bulan, dan bukan tidak mungkin sampai delapan, agar korban dapat berku rang rasa traumanya, dan bisa hidup seperti biasa dan terus menjalani ke hidupannya dengan baik dan nyaman.
Bagaimana dengan kekerasan terhadap anak?
Jenis kekerasan terhadap anak sebenarnya tidak berbeda dengan tin dak kekerasan yang dilakukan ter hadap perempuan dewasa. Antara lain dicumbu dan diajak melakukan hubungan seksual, mulai dari cara yang lemah lembut sampai dengan tindakan fisik yang membuat luka ringan sampai luka berat. Pelakunya adalah suami atau ayah terhadap anak gadisnya, bisa juga tetangga atau guru dan ulama terhadap anak didiknya, tapi bisa juga dilakukan oknum seperti polisi atau aparat yang secara sengaja mengajak anak untuk bepergian misalnya ke took buku, minum-minum di kafe, untuk selanjutnya dilakukan kekerasan sek sual terhadap korban.
Berdasarkan pengamatan Anda, bagaimana kecenderungan kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia, terutama Jawa Barat, saat ini?
Dalam beberapa tahun terakhir, korban kekerasan sudah lebih berani datang meminta bantuan dibandingkan dekade 2000-an. Saat ini, program pencegahan kekerasan seksual sudah mulai diberikan secara berkala mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai tingkat mahasiswa. Bahkan, di beberapa RT dan RW maupun perkumpulan perempuan, juga sudah sering dilakukan penyuluhan agar masyarakat mulai sadar akan tindak kekerasan ini. JaRI pernah melakukan lomba penulisan tentang kekerasan terhadap perempuan. Hasilnya cukup mengagetkan, karena ada 540 naskah datang dari seluruh Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa tindak kekerasan terjadi di seluruh pelosok Indonesia.
Sebenarnya, apa akar masalah kekerasan terhadap anak dan perempuan di Jawa Barat?
Karena adanya ketidakse taraan gender, laki-laki masih dinilai sebagai kaum yang powerful sehingga bisa menindas perempuan, termasuk dalam hal seksual. Diharapkan perempuan mulai melek bahwa laki-laki dan perempuan sudah dan harus hidup setara. Kondisi ini perlu disebarluaskan juga kelingkungan dan masyarakat, bahwa dalam kehidupan peran laki-laki dan perempuan adalah setara dan perlu saling tolong-menolong, bukan untuk saling menyakiti. Perempuan juga harus menyadari bahwa yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanya dalam soal mengan dung anak, sedangkan lainnya adalah sama. Laki-laki dan perempuan bisa mengenyam pendidikan yang sama, bisa melakukan peran yang sama. Perempuan juga mampu mencari nafkah dan mampu menduduki status sosial tertentu, tidak berbeda dengan laki laki.
Upaya terbaik yang masih bisa dilakukan untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak?
Harus terus menyebar luaskan bahwa peran laki-laki dan perempuan yang sama. Perlu ada kerja sama dan saling menyayangi satu sama lain, bekerja sama dalam segala hal, serta relasi sosial yang penuh kasih sayang.
Untuk cyber bullying, bagaimana realitanya di lapangan? Kasus seperti apa yang paling banyak ditemukan?
Kekerasan siber mulai marak dengan adanya kemajuan teknologi yang sangat tinggi. Saat ini, kekerasan siber banyak terjadi pada KDP yaitu kekerasan dalam pacaran. Sudah banyak kasus muncul dalam kekerasan siber, korbannya kembali terjadi pada pihak perempuan. Dengan kemajuan teknologi, saat ini banyak perempuan yang diminta pacarnya untuk mengirimkan fotonya mulai dari foto yang normal sampai bugil tanpa busana. Alasannya adalah obat kangen. Namun, saat ada masalah atau pu tus hubungan banyak yang menyebar luaskan foto-foto pacarnya atau perempuan tersebut pada internet, dan sulit untuk dihapus. Hal ini membuat perempuan menjadi korban. Yang menjadi pertanyaan adalah bentuk pacaran yang sehat itu seperti bagaimana? Apakah perlu saling mengirimkan foto bugil pada pacarnya? Tampaknya pacaran sehat perlu dise barluaskan agar kekerasan siber tidak semakin luas.
Sumber: Pikiran Rakyat Sabtu (Pahing) 7 September 2024 – 3 Rabiul Awal 1446 H – Mulud 1958
Dr Rismiyati E Koesma, Psikolog
Kelahiran : Ungaran, 23 Februari 1950
Jabatan Fungsional :
Lektor Kepala (Pensiun sejak 2015)
Jabatan :
- Dosen Luar Biasa Fakultas Psikologi Unpad Bandung
Dosen Luar Biasa Fakultas Psikologi Untar Jakarta - Dosen Luar Biasa Fakultas Psikologi Atmajaya Jakarta
- Dosen Luar Biasa Fakultas Psikologi Unisba Bandung
- Dosen Luar Biasa Fakultas Psikologi UKM Bandung
Pendidikan Terakhir :
S-3 Psikologi Universitas Padjadjaran (1996)
