Hasrat yang tak kasat mata: Disabilitas dan seksualitas di tengah-tengah kita

Oleh: Lia Marpaung

Sebuah kejadian terbaru tentang kejahatan seksual mengejutkan masyarakat Indonesia hingga ke akar-akarnya. Tidak hanya melibatkan banyak korban, baik perempuan dewasa maupun anak-anak perempuan, tetapi juga karena terduga pelaku adalah seorang penyandang disabilitas.

Beberapa lembaga, termasuk lembaga negara yang memperjuangkan hak asasi manusia, berupaya keras untuk membangun sistem guna memastikan akses pada keadilan dan proses penegakan hukum berjalan dengan baik, dan hak-hak korban dan juga terduga pelaku terpenuhi. Namun yang lebih penting, ini adalah momen untuk mengedukasi masyarakat bahwa seorang penyandang disabilitas memang dapat melakukan kejahatan yang bersifat seksual.

Namun, ada yang tidak muncul dalam wacana publik yakni diskusi yang terbuka, apa adanya dan mendalam tentang hubungan antara disabilitas dan seksualitas. Pembicaraan tentang isu ini tidak hanya dapat membahas masalah kesetaraan, tetapi juga pengakuan atas kemanusiaan dan martabat yang melekat pada jutaan orang Indonesia dengan disabilitas.

Fakta ini menjadi narasi yang masih terlupakan. Penyandang disabilitas di Indonesia menghadapi beban ganda. Di satu sisi, mereka berjuang melawan hambatan fisik dan sistemik yang membatasi partisipasi mereka dalam masyarakat. Di sisi lain, mereka harus menghadapi persepsi masyarakat yang melucuti identitas seksual mereka. Disabilitas sering kali dilihat sebagai penanda ketergantungan atau kelemahan, yang tidak sesuai dengan agensi dan hasrat yang biasanya dikaitkan dengan seksualitas. Persepsi ini memiliki konsekuensi yang mendalam. Seksualitas adalah aspek fundamental kehidupan manusia. Kebanyakan orang adalah makhluk seksual, memiliki pikiran, sikap, perasaan, hasrat, dan fantasi seksual, dan memiliki disabilitas fisik atau kognitif tidak mengubah seksualitas dan hasrat kita untuk mengekspresikannya.

Namun, bagi banyak orang Indonesia dengan disabilitas, hal ini tetap menjadi topik tertutup rapat yang diselimuti keheningan. Mereka sering kali tidak lagi dianggap seksual, kapasitas mereka untuk keintiman diabaikan atau dikesampingkan. Asumsi yang ada adalah bahwa mereka tidak mampu menjalin hubungan atau tidak layak untuk mengalami cinta dan memiliki hasrat. Kesalahpahaman seperti itu tidak hanya mengingkari kemanusiaan mereka, tetapi juga melanggengkan pengucilan. Di Indonesia, di mana nilai-nilai agama dan norma-norma adat memainkan peran penting dalam membentuk sikap, perbincangan seputar disabilitas dan seksualitas menghadapi rintangan tambahan. Prinsip-prinsip agama, yang memengaruhi banyak orang, menekankan kesederhanaan dan kesetiaan dalam perkawinan, tetapi juga menekankan belas kasih. Keluarga masih melihat anggota keluarga mereka yang disabilitas sebagai beban yang harus dilindungi, bukan sebagai individu yang harus diberdayakan dan memiliki ”agensi” mereka sendiri.

Menangani persinggungan antara disabilitas dan seksualitas di Indonesia merupakan tugas yang berat, tetapi juga merupakan tugas yang penting. Tugas ini memerlukan penghapusan stigma, pembuatan kebijakan yang inklusif, dan pengembangan budaya empati dan pengertian. Yang terpenting, tugas ini memerlukan mendengarkan suara para penyandang disabilitas itu sendiri. Mereka harus menjadi yang terdepan dalam percakapan ini, membentuk narasi yang mendefinisikan kehidupan mereka. Pendidikan seksualitas merupakan alat penting untuk memberdayakan para penyandang disabilitas, tetapi sering kali tidak dapat diakses atau tidak relevan dengan kebutuhan mereka.

Di Indonesia, di mana pendidikan seksualitas yang komprehensif sudah menjadi isu yang kontroversial, situasinya bahkan lebih buruk bagi para penyandang disabilitas. Lembaga pendidikan seperti sekolah dan program masyarakat jarang membahas masalah khusus mereka, sehingga banyak yang tidak memiliki pengetahuan yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat. Kesenjangan dalam pendidikan ini memiliki konsekuensi yang luas. Kesenjangan ini membuat para penyandang disabilitas tidak siap untuk menjalani hubungan atau melindungi diri mereka dari eksploitasi. Hal ini juga memperkuat persepsi bahwa mereka tidak berhak atas hak seksual yang sama dengan orang lain.

Salah satu masalah yang paling mendesak adalah kurangnya akses terhadap layanan kesehatan seksual. Penyandang disabilitas seringkali menghadapi hambatan fisik, seperti klinik yang tidak memiliki jalur landai atau meja pemeriksaan yang tidak dapat menampung kursi roda. Namun hambatannya bukan hanya bersifat fisik; juga hambatan terkait sikap. Penyedia layanan kesehatan mungkin mengabaikan masalah kesehatan seksual penyandang disabilitas atau kurang memiliki pelatihan untuk mengatasinya dengan tepat.

Tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam mengekspresikan seksualitasnya diperparah oleh gender. Perempuan penyandang disabilitas sering kali dianggap aseksual atau tidak mampu menjadi ibu, sebuah asumsi yang menghalangi mereka untuk memenuhi peran tersebut jika mereka memilih untuk melakukannya. Pada saat yang sama, mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual. Laki-laki penyandang disabilitas menghadapi tantangannya sendiri. Harapan masyarakat terhadap maskulinitas sering kali menekankan kekuatan fisik dan kemandirian ekonomi, kualitas yang mungkin sulit diwujudkan oleh laki-laki penyandang disabilitas. Hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak mampu dan tersingkir, yang selanjutnya memperparah marginalisasi mereka.

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, ada sedikit kemajuan dalam hak-hak disabilitas. Undang-undang seperti Undang-Undang Disabilitas tahun 2016 bertujuan untuk mendorong kesetaraan dan inklusi. Namun jika menyangkut seksualitas, undang-undang tetap diam. Keheningan ini melanggengkan anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki hak seksual, sehingga membuat mereka rentan terhadap pengabaian dan pelecehan.

Namun kemajuan memerlukan lebih dari sekedar kebijakan; hal ini menuntut perubahan budaya. Masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa penyandang disabilitas mempunyai keinginan, aspirasi, dan hak yang sama dengan orang lain. Pergeseran ini dimulai dari pendidikan – tidak hanya bagi penyandang disabilitas tetapi juga bagi keluarga mereka, komunitas, dan pembuat kebijakan.

Mewujudkan kesetaraan seksual bagi penyandang disabilitas di Indonesia akan membutuhkan upaya bersama di berbagai bidang. Kebijakan harus secara eksplisit mengakui hak seksual penyandang disabilitas dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk menegakkannya.

Penyedia layanan kesehatan harus menerima pelatihan untuk memenuhi kebutuhan unik pasien disabilitas. Media dapat memainkan peran transformatif dalam mengubah persepsi. Penggambaran positif penyandang disabilitas sebagai makhluk yang kompleks dan multidimensi yang mampu mencintai, menginginkan, dan menjalin keintiman dapat menantang stereotip yang mengakar.

Perjalanan Indonesia menuju inklusivitas masih jauh dari selesai, tetapi jalan ke depan sudah jelas. Dengan mengatasi persimpangan antara disabilitas dan seksualitas, negara ini dapat bergerak lebih dekat untuk mewujudkan visinya tentang masyarakat yang adil dan setara. Hal ini tidak hanya membutuhkan perubahan sistemik, tetapi juga transformasi budaya; yang mengakui kemanusiaan dan martabat semua warga negaranya, terlepas dari kemampuan mereka.

Lia Marpaung
Gender Equality, Disability & Social Inclusion (GEDSI) Advocate and Co-Founder of FORMASI DISABILITAS

Disclaimer: Artikel ini telah dimuat di The Jakarta Post pada Sabtu, 4 Januari 2025 dan artikel asli dalam diunduh dalam link berikut:
Invisible desires: Disability and sexuality in our midst – Academia – The Jakarta Post

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Suhartati
Suhartati
9 months ago

Sekalipun disabilitas harus dapat sanksi tegas kalo perbuatan asusila nya sudah menyakitu orang lain apalagi perempuan.

Lia Marpaung Marpaung
Lia Marpaung Marpaung
8 months ago
Reply to  Suhartati

Benar, Ibu Suhartati. tidak ada orang yg kebal hukum dan Indonesia juga sudah memiliki UU TPKS sejak 2022, semoga penegakan hukum terhadap pelaku kekerasaan seksual semakin kuat.

Ane Djara
Ane Djara
9 months ago

Terimakasih bagi penulis. Hal ini sangat membukakan hati dan pikiran pembaca, bagaimana memahami penyandang disabilitas dan seksualitas dari sisi yang lebih luas dan dalam. Saya secara pribadi mendapatkan banyak pemahaman baru dengan membaca secara menyeluruh tulisan di atas. Saya berharap bisa berbagi dan mengimplementasikan hal ini di lingkungan yang dapat saya jangkau. Terimakasih sudah berbagi.

Lia Marpaung Marpaung
Lia Marpaung Marpaung
8 months ago
Reply to  Ane Djara

Terimakasih banyak, Ane, utk apresiasinya pada tulisan saya. Semoga semakin membuka wacana dan diskusi lbh dalam pada topik ini.