Jika Cinta Tak Begitu
Oleh: Ina Tanaya
Wajah anak perempuan milenial itu pucat, lesu, dingin, dan tak berdaya. Hatinya beku, sepi jawaban. Rambutnya kusut, pandangannya keras, tapi jiwanya kosong.
Di hadapan saya, gadis itu tak bergeming. Diam seribu bahasa. Dia tidak bisa dieksplorasi pertanyaan apa pun karena menganggap kami -konselor dan saya- bukan tempat untuk melampiaskan kegeraman dan kegamangannya. Kegelisahan itu tertangkap dari bahasa tubuhnya yang tak bisa dipungkiri.
Ita (bukan nama sebenarnya), dilahirkan dari keluarga cukup berada. Ayahnya seorang pengusaha yang sangat sibuk sehingga tidak punya waktu untuk anak-anaknya yang berangkat dewasa. Sang ibu juga seorang wanita karier yang kesibukannya menyita waktunya sebagai seorang ibu. Ibunya tak punya waktu untuk mengobrol, membangun bonding dengan kedua anak remajanya, Ita dan Doni. Dia sibuk mengejar dan menikmati kariernya, meeting bersama klien di restoran bintang 4-5 hingga malam hari dan sisa waktunya hanya hari Sabtu atau Minggu saja, itu pun digunakan untuk “me time” bukan quality time dengan anak-anak dan suami. Di akhir pekan, sang ibu menghabiskan waktunya ke salon, main golf, dan chatting dengan teman-temannya.
Ita dan Doni sedang mengalami kondisi labil, dampak dari pencarian identitas diri. Setiap kali Ita bermasalah dengan Rio, pacarnya, Ita ingin sekali bercerita kepada ibunya, tapi dia tak pernah berhasil berkomunikasi atau bicara dengan leluasa dengan ibunya. Ke mana Ita harus mencari orang yang bisa diajak bicara? Ayahnya? Ayahnya sama sibuknya seperti ibunya. Ketika ayah ada di rumah, dia malah sibuk dengan hobi fotografinya, padahal Ita ingin mengobrol dengan ayahnya. Ketika Ita bisa berbicara kepada ayahnya, mengutarakan kekesalannya seputar Rio, jawabannya ayahnya cenderung tidak mendukung dan membantu masalah Ita.
“Ayah kan sudah bilang dia itu brengsek”. “Kenapa juga kamu mau diperlakukan begitu…” “Ayah tidak mau dengar masalah ini ya!”
“Awas kalau kamu masih berhubungan dengan dia!”
Ancaman dan kecaman ayahnya membuat hati Ita teriris-iris, kecewa dan sedih. Alih-alih bisa mendapatkan solusi, Ita malah merasa kalau dia adalah biang masalahnya. Sementara dengan ibunya tak punya kesempatan bicara sedikit pun. Ibunya menganggap semua kebutuhan materi anak-anaknya sudah dipenuhi dan anak-anaknya sudah dewasa, jadi masalah apa pun harus diselesaikan oleh mereka sendiri, demikian pendapat ibunya.
Kepedihan hati Ita terhadap sikap ayah dan ibunya, membuat dirinya terombang-ambing dalam toxic relation dengan Rio. Rio adalah tipe lelaki yang sangat posesif dan pencemburu, suka mengontrol dan mengendalikan, menyalahkan Ita atas masalah yang dialaminya, melakukan kekerasan verbal, kerap berubah sikap dalam sekejap, dan selalu penuh dengan ancaman. Jika keinginan Rio tidak dipenuhi oleh Ita, maka Rio akan mengancam untuk memutuskan hubungan mereka.
Ketika Ita di ambang keputusasaan, Rio dianggap sebagai satu-satunya penolongnya. Ita sebenarnya sadar Rio bukan laki-laki yang baik, tapi dia tidak melihat jalan ke luar untuk melepaskan diri dari relasi racun itu.
Sampai suatu hari Rio mengancamnya, jika Ita tetap mau jadi pacarnya, Ita harus mau melakukan hubungan seksual dengannya. Ketakutan menyelimuti hati Ita, dia takut kehilangan Rio, satu-satunya orang yang dekat dengan dirinya. Ita takut nantinya tak punya pacar lagi.
Maka terjadilah hubungan seksual itu dan akhirnya Ita hamil di usia yang masih muda. Kedua orang tuanya tidak sadar bahwa apa yang telah terjadi merupakan kesalahan mereka yang gagal membangun bonding, yakni akrab dengan Ita.
Anak yang akrab dengan orang tuanya akan memiliki pribadi lebih tenang, percaya diri, sehat secara fisik dan psikologisnya, serta tidak mudah terpengaruh hal-hal negatif, seperti mampu menunda hubungan seks pranikah, atau memiliki perilaku sesuai etika dan norma di masyarakat.
Sayang, nasi telah menjadi bubur, Ita terlambat menyadari kesalahannya dan hal tersebut membuatnya kehilangan masa depan. Ita pun tak bisa menyesal karena dia telah terperdaya toxic relation dengan pacarnya yang seharusnya bisa dihindari apabila orang tuanya membuka diri.
Seandainya orang tua Ita mau belajar dari apa yang telah terjadi maka Ita bisa mengakhiri toxic relation dengan pacarnya yang tak bertanggung jawab.
Ita seharusnya mendapatkan dukungan sosial yang positif, Orang tuanya seharusnya mengevaluasi hubungan anaknya dengan pacarnya secara objektif, mengidentifikasi kondisi toxic relation yang telah terjadi, menemukan alasan mengapa anak mereka bertahan dengan toxic relation, dan memahami dampak dari toxic relation. Dengan demikian, orang tua Ita bisa memaafkan kesalahan Ita dan mantannya sepenuhnya.
Saat itu, langkah yang dilakukan oleh orang tua Ita adalah datang ke Prita (bukan nama sebenarnya), seorang konselor yang memiliki pendamping bernama Ina Tanaya, yakni saya sendiri. Pada sesi konseling, sebagai konselor Prita mengemukakan nasihatnya dengan tegas kepada orang tua Ita sebagai berikut, “Bapak, Ibu, Ita sekarang berada dalam masalah, mohon tenangkan diri, dan kelola stres yang ada”.
Saat itu kami berinisiatif untuk membuat dokumentasi mengenai kondisi tekanan mental yang dialami Ita sebagai dampak seks sebelum nikah. Semua pihak yang terlibat dalam masalah tersebut harus berpikir jernih, agar dokumentasi tersebut berfungsi baik dan dapat melengkapi laporan atas kekerasan seksual yang dialami oleh Ita. Apabila kemudian Rio tidak mengakui atas apa yang telah dilakukan, maka pihak keluarga Ita dapat meneruskan hal ini ke jalur hukum.
Orang tua Ita langsung protes setelah mendengar apa yang dianjurkan oleh konselor, “Apakah kita tidak bisa berdamai saja? Kita nikahkan kedua anak ini, dan setelah itu ceraikan mereka setelah anaknya lahir”, ujar mereka. “Terlambat”, ujar konselor dan saya, “Kita tidak boleh melakukan pernikahan atas dasar kekerasan. Hal ini akan sangat merendahkan martabat Ita. Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu selayaknya memberikan pendidikan tentang bagaimana membatasi kekerasan seksual pranikah” tutur kami. “Bagaimana caranya?” tanya ayah dan ibu Ita. Kami sebagai tim konselor menjawabnya dengan menetapkan batasan pada diri sendiri dalam menjalani suatu hubungan. Batasannya sendiri bisa bersifat emosional, fisik, maupun digital, seperti pernyataan berikut:
• Aku merasa nyaman berpegangan tangan, tapi tidak lebih dari itu.
• Aku setuju dengan chat teratur, tetapi aku tidak harus selalu chat berjam-jam dan tunduk kepada kemauanmu.
• Aku butuh tenang dengan teman-temanku sendiri.
• Aku ingin meluangkan waktu bersama keluarga di akhir pekan (dengan syarat bapak dan ibu juga bersedia meluangkan waktu dengan anak).
• Aku nyaman dengan sentuhan tertentu, tapi aku belum siap berhubungan seks sebelum menikah.
Kemudian Prita sebagai konselor memberikan pesan di akhir sesi konseling, “Sekarang Bapak dan Ibu tentu masih mencintai Ita apa adanya, bukan karena dia hamil di luar nikah dan kemudian Bapak dan Ibu meninggalkannya sebagai anak. Apa yang perlu dilakukan Bapak dan Ibu saat ini adalah menegaskan dan menguatkan Ita supaya dia mampu pulih dan merasa sebagai anak yang dicintai oleh orang tuanya”.
Adapun pernyataan yang dapat digunakan untuk kondisi ini, seperti:
• “Diriku dan hidupku BERHARGA”.
• “Aku patut disayangi dan DICINTAI”.
• “Hidupku penuh dengan keindahan, gairah, kelembutan, penyerahan kepada cinta Illahi”.
• “Aku memiliki KEBERANIAN”.
• “Hidupku penuh dengan KEAJAIBAN”.