KATA ‘BAPERAN’ YANG SERING DIJADIKAN TAMENG OLEH PELAKU VERBAL VIOLENCE
Oleh: Winda Febrian Nadeak
Pada awalnya penulis tidak tertarik pada kasus-kasus kekerasan, hingga akhirnya mengalami toxic relationship selama hampir satu tahun. Hal ini terjadi karena penulis kurang memperhatikan latar belakang dan lingkungan pelakunya, yakni pacar penulis yang menganut pergaulan bebas. Toxic relationship yang penulis alami berupa kekerasan verbal (verbal violence), kata-kata kasar, seperti: “Kamu kok nggak bisa sih, Anjing!”, “Ah tolol banget!”, “Kenapa Kamu nggak bisa secantik cewek lain?”, “Kok Kamu hitam sih?”, “Hallah lemah!”. Pelaku tidak merasa bersalah setelah berkata-kata kasar, dan ketika penulis protes atas perlakuannya, dia justru berkata, “Baper banget sih jadi orang!”, “Kamu itu terlalu sensitif, dikit-dikit baperan!” Penyalahgunaan makna kata “baper” membuat pelaku kekerasan verbal selalu merasa benar dan menganggap perkataannya hanya bercanda. Kekerasan jenis ini juga kerap dianggap sepele karena tidak meninggalkan bekas luka fisik pada korbannya, namun tanpa disadari memiliki dampak yang cukup parah karena dapat membuat korban mengalami trauma, depresi, merasa tertolak di kehidupannya, bahkan tidak jarang korbannya memilih bunuh diri.
Dampak dari kekerasan yang dialami penulis mengubah kepribadian penulis yang awalnya ekstrover dan ramah pada semua orang berubah menjadi introver, pemalu, dan pemurung. Penulis lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar, merenung, merasa minder, merasa tidak pantas, menangis setiap malam, dan selalu overthinking. Ya, demikian parahnya dampak kata-kata kasar dari seseorang yang kita cintai, mampu menusuk, melukai, dan membekas pada penerimanya, apalagi penulis belum pernah dikata-katai kasar selama hidup. Bodohnya, penulis tetap saja bertahan dalam hubungan toxic tersebut dengan alasan “cinta”. Bayangkan, seorang remaja perempuan yang pada saat itu berumur 16 tahun dan benar-benar dibutakan oleh “cinta”, padahal itu bukan cinta, tapi hanya karena merasa kesepian sehingga penulis takut untuk berpisah.
Tindakan pelaku tidak hanya sebatas kekerasan verbal saja. Pada bulan ke-8 masa pacaran, penulis pernah diancam putus jika tidak memberikan foto payudara. Di sini, penulis mulai lelah, sadar, dan merasa hubungan ini sudah sangat toxic atau tidak sehat. Penulis mulai berani bicara dan secara tegas untuk mengatakan “TIDAK” dan “PUTUS”. Lagi, dan lagi pelaku mengatakan, “Body begitu aja sok jual mahal.” Padahal jika penulis menuruti keinginan pelaku, maka ada banyak sekali kerugian, seperti keinginan pelaku untuk memperoleh foto-foto vulgar penulis lainnya yang disertai ancaman penyebaran.
Pada dasarnya perempuan juga manusia yang memiliki hak yang sama seperti laki-laki. Perempuan memiliki kebebasan berpendapat dan perlindungan dari kekerasan terhadap dirinya. Namun yang terjadi saat ini adalah kebalikannya, begitu banyak kejadian di luar sana yang mengesampingkan logika manusia. Istilah pacaran menjadi sebuah pegangan bahwa sepasang kekasih berhak melakukan apa pun sesuka mereka. Pihak perempuan merasa lemah karena tidak sanggup menolak permintaan pacarnya. Pihak laki-laki mengancam akan memutuskan hubungan apabila pihak perempuan tidak mengikuti kemauannya. Rasa takut untuk menolak dan berkata “tidak” akhirnya menjadi bumerang untuk dirinya sendiri, apalagi jika status mereka sudah dalam ikatan pernikahan yang sah dan memiliki anak. Alasan anak inilah yang memaksa seorang ibu mempertahankan rumah tangganya meskipun tidak bahagia. Bukan hanya itu, perempuan yang sudah menikah ditempatkan sebagai sosok yang harus tunduk kepada suaminya meski diperlakukan tidak adil. Siapa saja bisa menjadi korban kekerasan, namun perempuan yang paling banyak menjadi korban. Setiap harinya, perempuan yang menjadi korban kekerasan akan menjalani waktunya dengan kepercayaan diri yang perlahan-lahan menurun. Ketakutan terhadap stigma dari lingkungan sekitar mengenai kondisinya akan memunculkan rasa tidak nyaman dalam bergaul.
Rasa bersalah muncul ke permukaan karena telah mengecewakan keluarga juga menjadi faktor utama sering terganggunya korban kekerasan secara psikologis. Padahal perannya sebagai istri sekaligus ibu bagi anaknya sangatlah penting.Dari ketertarikan ini penulis terpilih menjadi Duta Pelajar Sadar Hukum Kalimantan Timur 2020 di bidang Anti-Bullying. Pemilihan duta ini merupakan program kerja sama Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur. Berkat program Anti-Bullying banyak generasi muda, khususnya di sekitar daerah asal penulis, yakni Kabupaten Berau yang merasakan dampak dari sosialisasi “Berani Memulai, Berani Bersuara, Berani Bertindak”.
Di Kabupaten Berau banyak perempuan yang merasa takut jika diancam putus hubungan oleh pasangannya dengan alasan cinta. Padahal kenyataannya mereka tidak mencintai pasangannya, tapi karena adanya stigma yang berlaku di masyarakat untuk menjaga privasi sebelum menikah. Bahkan hal ini berlaku juga untuk pasangan suami-istri, mereka melakukan hal yang sama dalam hubungan keluarga. Pola pikir inilah yang harus diubah sejak dini. Perempuan-perempuan harus berani bersuara dan bertindak, jangan takut untuk berkata “Tidak”, terutama jika terkait kekerasan. Semakin dituruti kemauan pelaku kekerasan, maka akan semakin merasa memiliki kekuasaan atas korban dengan ancaman penyebaran video/foto syur.
Program yang dapat dijadikan referensi bagi banyak instansi untuk masalah kekerasan adalah kegiatan sosialisasi “Merdeka dari Kekerasan” -tanpa fokus di salah satu gender, karena siapa saja dapat menjadi pelaku kekerasan- kepada semua orang. Sosialisasi dapat dilakukan dengan terjun langsung ke sekolah-sekolah dan membentuk komunitas peduli kekerasan, mengampanyekan Program “Berani Memulai, Berani Bersuara, Berani Bertindak”, bekerja sama membangun komunitas yang fokus dalam membela perempuan agar tidak dianggap lemah karena tidak memiliki kemampuan mempertahankan dan melindungi diri.
Tujuan dari program sosialisasi ini adalah terciptanya kesetaraan gender yang akan mengakhiri tindakan kekerasan, sehingga tidak ada lagi korban kekerasan, mengurangi opini “lemah” pada perempuan, menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang kerap terjadi dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan –termasuk di lingkungan kerja-, terciptanya hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama, serta kebebasan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi untuk perempuan.
Mari kita peduli dan peka terhadap isu kekerasan, dimulai dari mencintai diri sendiri agar tidak seorang pun berani melukai hati dan fisik kita. “Kekerasan terhadap perempuan bukanlah budaya, melainkan tindakan kriminal.
“Kesetaraan tidak bisa datang pada akhirnya, itu adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan saat ini” – Samantha Power.