PEMOTONG LINGKARAN DURI

Oleh: Adel Meirani Gameli

Pemotong Lingkaran Duri. Sebaiknya para pasangan harus berhenti saling mencintai jika belum yakin atas hubungan yang mereka jalani. Sebelum melangkah lebih jauh, mereka harus berbalik dan menatap bayangan mereka sendiri, dan bertanya pada bayangan mereka sebuah pertanyaan klasik, “Apa Kamu baik-baik saja?” Hal ini perlu dilakukan, jika langkah ini dilewati begitu saja, maka ke depannya berbagai bencana dengan senang hati menyapa si empunya.

Sebagai seorang anak yang tumbuh dengan banyak keraguan, saya selalu butuh validasi yang seolah-olah meminta persetujuan dari orang-orang di sekitar saya. Validasi membuat saya merasa aman, sehingga pertentangan dari seseorang bisa jadi ancaman besar dan membuat saya ketakutan. Ada masa-masa badan saya mengalami getaran yang hebat, bahkan sampai mual karena kecemasan.

Kemudian saya sadar bahwa ketergantungan saya pada validasi orang lain tidak lagi sehat, terutama ketika kecemasan mulai menyentuh berbagai aspek kehidupan saya. Jika dulu saya hanya cemas pada hal-hal vital dalam hidup, seperti ujian akhir atau memilih sekolah lanjutan, belakangan cemas dapat muncul karena hal-hal ringan seperti pakaian apa yang akan saya kenakan, buku apa yang bisa saya baca, bahkan makanan apa yang harus saya makan. Kecemasan menggerogoti bagian luar dan dalam diri saya, mengikis satu-persatu kepercayaan diri, lebih parahnya lagi menggerus rasa cinta saya pada diri sendiri.

Saya merasa tidak layak untuk apa pun. Ketika bertemu dengan hal yang ditakutkan oleh semua orang, yakni kegagalan, saya hancur lebur. Dalam otak saya, hidup digambarkan sebagai bukit besar yang dengan susah payah harus saya tapaki jalannya, dan ketika didorong ke bawah, saya jatuh ke jurang dan tidak tahu apakah saya sanggup bertahan.

Katanya, ketika kita kedinginan sebuah pelukan macan pun bisa terasa menenangkan, kata- kata ini menjadi tamparan keras untuk saya. Saat itu saya masih begitu muda dan naif, berpikir bahwa jika saya tidak bisa mencintai diri saya, mungkin orang lain bisa membantu melakukannya. Dengan dicintai, mungkin saya bisa lebih menghargai diri sendiri.

Ketika memiliki pemikiran dangkal itu saya bertemu mantan kekasih saya. Sebuah pertemuan klasik, di sebuah bimbingan belajar tempat kami sama-sama berjuang untuk masuk ke perguruan tinggi impian, tatapan berbinarnya menggugah hati saya.

Saat itu orang-orang hanya menatap saya dengan tatapan iba atau kecewa, sehingga kerlipan bintang yang ia berikan membuat saya merasa punya harapan. Hubungan kami pun terbentuk begitu saja. Mantan kekasih saya adalah orang yang baik, tapi orang baik tidak selalu benar. Dia pria yang baik ketika tersenyum dan membantu saya melewati masa-masa sulit. Pria baik yang mau repot menemani saya naik bus dan kereta, pria baik yang mau membagi mimpi-mimpinya dengan saya, yang memuji kalau saya punya mata yang indah, yang tak apa jika bahunya saya basahi dengan air mata, dan telinganya saya jejali dengan berbagai keluh kesah tentang sulitnya berjuang.

Tapi dia tidak benar ketika berteriak memarahi orang asing saat mobilnya disusul, tidak benar ketika berbohong tentang kondisinya, tidak benar saat ia cemburu pada teman-teman saya, apalagi ketika dia mengancam menodongkan pisau pada seorang bapak tua hanya untuk menegaskan kekuasaannya. Dia tidak benar ketika secara konstan mengingatkan saya bahwa, saya tidak punya apa-apa, saya tidak pernah cukup, dan bisa disakiti kapan saja. Bahkan, ketika saya putus asa memohon untuk dilepaskan dari dirinya, dia salah karena berpikir bahwa saya akan kembali padanya. Setelah delapan bulan menjalani hubungan penuh tekanan dan rasa takut, empat bulan di antaranya ditemani aneka pil tidur, tangisan di tengah malam, dan mimpi-mimpi buruk akan masa depan, saya akhirnya bisa bebas.

Tapi rupanya, luka-luka yang saya dapatkan dari pengalaman tersebut tidak sembuh begitu saja. Mereka mengendap jadi kenangan yang sering kali terputar tanpa bisa dikendalikan, masih menjadi alasan mengapa badan saya gemetar atau terjaga di malam hari. Pada satu titik, saya tahu luka itu tidak akan pernah hilang. Seiring bertambahnya usia, saya sadar bahwa apa yang saya alami adalah buah dari pohon yang ketika masih bibit sudah diracuni. Akarnya bisa tumbuh dan bercabang ke mana-mana, tapi karena dipupuk dengan salah sejak awal, maka buahnya tidak akan sehat.

Sebagai seorang perempuan, kita dipaksa memenuhi standar tertentu untuk dianggap layak dicintai. Kamu harus cantik, pintar, dan mudah bergaul. Kamu harus bertutur kata baik, berlaku lemah lembut, berasal dari keluarga terpandang, dan berpakaian sopan agar dihormati. Jika kamu tidak memenuhi standar itu, maka kamu bukan perempuan “baik”. Tuntutan dalam bentuk generalisasi yang tampaknya sepele tapi menyesakkan inilah yang membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran duri, menyakiti diri mereka sendiri.

Misalnya ketika mantan kekasih saya yang mengatakan bahwa wanita dari suku daerah saya terkenal malas dan mata duitan, saya berjuang mati-matian untuk membuktikan padanya kalau itu tidak benar.

Saya akhirnya menghindari memakai pakaian bermerek di depannya agar bisa dianggap wanita sederhana. Walau diam-diam terpikirkan oleh saya bagaimana usaha orang tua saya membelikan pakaian-pakaian yang baik agar anaknya bisa pergi keluar dengan percaya diri.

Sayangnya, kadang generalisasi juga dilakukan oleh sesama perempuan. Contohnya ketika adik mantan saya yang memutuskan tidak bisa bergaul dengan saya setelah lima detik kami saling menyapa. Katanya, karena saya berasal dari sekolah yang kurang terkenal, maka saya tidak akan punya pengetahuan yang sama dengannya, cara saya menjalani hidup dan berpakaian sangat berbeda, bahkan sempat meramalkan kira-kira jenis musik apa yang sering saya dengarkan. Apa yang saya lakukan ketika mengetahui pendapatnya? Saya menangis dan bertanya-tanya apa yang bisa saya lakukan untuk mengubah pemikiran si adik. Padahal dalam diri saya berteriak, mengatakan bahwa bukan saya sumber masalahnya.

Saat ini saya bisa tertawa mengingat betapa bodohnya saya dahulu, tapi saya juga mengerti mengapa saya melakukannya. Ketika kamu tidak mencintai dirimu sendiri dan seluruh dunia menolakmu, maka apa yang dikatakan orang lain akan jadi sebuah ketetapan mutlak. Kamu bergantung pada validasi karena itu terasa benar, dan menjadi benar membuat kita merasa sedikit lebih dicintai.

Siapa yang bisa memotong lingkaran duri tersebut? Dirimu sendiri. Begitu kamu memutuskan untuk menerima siapa dirimu, maka kamu menang. Kamu tidak akan terjebak dalam hubungan yang membuatmu terjaga pada malam hari, memikirkan apakah kamu tidak cukup layak untuk dicintai. Kamu tidak perlu kesulitan menuliskan kisahmu karena enggan menyelami perasaanmu dahulu, masa di mana air mata tak kunjung mengering dan yang bisa kamu lakukan adalah lebih erat memeluk lututmu sendiri.

Kamu sudah menang, ketika kamu memutuskan hanya peduli pada pendapat orang-orang yang menghargaimu, mereka yang selalu ingin kamu tumbuh menjadi lebih baik dan lebih banyak membuatmu tersenyum.

Kamu sudah menang, ketika mencoba memperlakukan seseorang selayaknya kamu ingin diperlakukan, mencoba menghargai tiap insan dengan tidak menetapkan gagasan tidak masuk akal sebagai tolak ukur seseorang.

Kamu sudah menang, ketika kamu memutuskan mencintai dirimu sendiri sebelum mencintai orang lain.

Dan kamu sudah menang, ketika kamu menganggap bahagia adalah sesuatu yang bisa kamu rasakan setiap hari, dapat ditemukan dalam tiap detik hidupmu.

*** Pemotong lingkaran duri adalah kamu. Sang pemenang ***

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments