KATA ‘BAPERAN’ YANG SERING DIJADIKAN TAMENG OLEH PELAKU VERBAL VIOLENCE​

KATA ‘BAPERAN’ YANG SERING DIJADIKAN TAMENG OLEH PELAKU VERBAL VIOLENCE​

KATA ‘BAPERAN’ YANG SERING DIJADIKAN TAMENG OLEH PELAKU VERBAL VIOLENCE Oleh: Winda Febrian Nadeak Pada awalnya penulis tidak tertarik pada kasus-kasus kekerasan, hingga akhirnya mengalami toxic relationship selama hampir satu tahun. Hal ini terjadi karena penulis kurang memperhatikan latar belakang dan lingkungan pelakunya, yakni pacar penulis yang menganut pergaulan bebas. Toxic relationship yang penulis alami berupa kekerasan verbal (verbal violence), kata-kata kasar, seperti: “Kamu kok nggak bisa sih, Anjing!”, “Ah tolol banget!”, “Kenapa Kamu nggak bisa secantik cewek lain?”, “Kok Kamu hitam sih?”, “Hallah lemah!”. Pelaku tidak merasa bersalah setelah berkata-kata kasar, dan ketika penulis protes atas perlakuannya, dia justru berkata, “Baper banget sih jadi orang!”, “Kamu itu terlalu sensitif, dikit-dikit baperan!” Penyalahgunaan makna kata “baper” membuat pelaku kekerasan verbal selalu merasa benar dan menganggap perkataannya hanya bercanda. Kekerasan jenis ini juga kerap dianggap sepele karena tidak meninggalkan bekas luka fisik pada korbannya, namun tanpa disadari memiliki dampak yang cukup parah karena dapat membuat korban mengalami trauma, depresi, merasa tertolak di kehidupannya, bahkan...
Read More
Jika Cinta Tak Begitu

Jika Cinta Tak Begitu

Jika Cinta Tak Begitu Oleh: Ina Tanaya Wajah anak perempuan milenial itu pucat, lesu, dingin, dan tak berdaya. Hatinya beku, sepi jawaban. Rambutnya kusut, pandangannya keras, tapi jiwanya kosong. Di hadapan saya, gadis itu tak bergeming. Diam seribu bahasa. Dia tidak bisa dieksplorasi pertanyaan apa pun karena menganggap kami -konselor dan saya- bukan tempat untuk melampiaskan kegeraman dan kegamangannya. Kegelisahan itu tertangkap dari bahasa tubuhnya yang tak bisa dipungkiri. Ita (bukan nama sebenarnya), dilahirkan dari keluarga cukup berada. Ayahnya seorang pengusaha yang sangat sibuk sehingga tidak punya waktu untuk anak-anaknya yang berangkat dewasa. Sang ibu juga seorang wanita karier yang kesibukannya menyita waktunya sebagai seorang ibu. Ibunya tak punya waktu untuk mengobrol, membangun bonding dengan kedua anak remajanya, Ita dan Doni. Dia sibuk mengejar dan menikmati kariernya, meeting bersama klien di restoran bintang 4-5 hingga malam hari dan sisa waktunya hanya hari Sabtu atau Minggu saja, itu pun digunakan untuk “me time” bukan quality time dengan anak-anak dan suami. Di akhir pekan, sang ibu...
Read More