JANGAN JADI BUCIN YA, ADIK-ADIKKU SAYANG (BERDASARKAN PENGALAMAN DALAM MENANGANI PARA GADIS MUDA YANG “KEHILANGAN CINTA”)
Oleh: Eka Maulidya Bastra
“Pas putus, kami bener-bener loss contact. Dia gak hubungin aku lagi, aku juga. Tapiii trus akhirnya aku hubungin dia duluan pas abis putus semingguan. Kayak ada yang kurang gitu loh mbak pas gak kontakan, padahal aku tau hubungan kami tuh sebenernya toksik banget, dia juga sering maki-maki aku kok….” (tatapan matanya kosong, seperti tak ada lagi yang bisa membuatnya tersenyum).
“Saya gak deket sama ortu apalagi kakak, yaaa deketnya cuma sama mantan pacarku ini. Kalo curhat yaaa cuma sama dia aja. Putusnya sudah tiga bulanan ini, pas Oktober, tapi aku masih sering stalking IG-nya, kadang juga kalo dia buat status di WA, aku baca.” (matanya berkaca-kaca, seperti masih ada pengharapan di sana).
“Bu, bagaimana ya…..?? masalahnya saya sudah tidak perawan….” (dia menangis, saya merangkulnya, lalu menepuk-nepuk punggungnya).
Ilustrasi kesaksian di atas hanyalah secuil penggalan dari sekian banyak curahan hati dari puluhan gadis muda yang datang untuk konsultasi di puskesmas tempat saya bekerja dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Kasusnya sama, masalah cinta, hanya saja dengan pernak-pernik kisah yang beragam. Sebagai seorang praktisi psikologi yang diamanahi oleh Tuhan untuk menjadi “sandaran” bagi mereka yang datang dengan hati rapuh,
kisah-kisah yang mereka sampaikan cukup dapat membuat saya tertegun karena prihatin dan ikut berempati. Betapa tidak, tiap tahun kasus tersebut bertambah jumlahnya dan kebanyakan mereka yang datang adalah perempuan muda, calon generasi penerus bangsa, calon ibu bagi anak-anak hebat di masa yang akan datang. Usia rata- rata mereka tidak lebih dari 25 tahun, yang merupakan masa “keemasan” seorang perempuan, masa ranumnya para gadis yang kemudian menjadi layu akibat salah dalam memilih pasangan.
Sebenarnya, ada juga sih klien laki-laki muda yang datang untuk konsultasi dengan masalah yang sama, tetapi itu tidak banyak, hanya satu atau dua orang saja dalam setahun. Pada kenyataannya, bila mengingat lebih jauh beberapa tahun ke belakang, masalah relationship yang saya tangani lebih banyak seputar masalah rumah tangga atau hubungan dalam pernikahan, contohnya KDRT. Namun seiring berjalannya waktu, kasus yang paling sering saya temui saat ini lebih didominasi oleh masalah dalam hubungan pacaran, utamanya hubungan yang toksik dan kekerasan dalam pacaran.
Berdasarkan pengalaman saya dalam menangani kasus masalah percintaan, dapat dikatakan bahwa hampir semua klien yang datang untuk curhat sebenarnya sadar bila mereka sedang menjalani hubungan yang tidak sehat, namun tetap menjalani hubungan itu dengan alasan sulit untuk berpisah karena masih sayang, ada yang karena merasa kasihan, bahkan ada yang karena takut ditinggal pasangannya (biasanya kasus yang seperti ini karena telanjur berhubungan terlalu jauh atau malah sudah hamil), padahal tidak sedikit dari mereka adalah korban kekerasan dalam pacaran.
Adapun bentuk kekerasan yang paling sering mereka terima dari sang pacar adalah pengabaian (apalagi kalau mereka sudah pernah melakukan hubungan intim). Dicuekin atau diabaikan oleh pacar menempati urutan pertama alasan mengapa klien saya datang untuk berkonsultasi. Kelihatan remeh bukan ??? tapi itulah yang terjadi pada banyak remaja atau gadis muda di sekitar kita.
Di samping itu, kekerasan verbal dalam bentuk makian, hinaan, dan pelecehan juga sering terjadi, selain kekerasan fisik seperti dipukul atau ditampar. Pada saat mengalami hal yang sudah disebutkan sebelumnya, para korban menyadari bahwa kondisi itu tidak boleh dibiarkan, namun mereka sulit untuk lepas. Kalau pun bisa melepaskan diri hubungan tersebut, mereka harus siap-siap dengan ancaman atau intimidasi dari si mantan pacar, atau lebih parahnya lagi, justru mereka yang belum siap untuk putus akan mengalami depresi, dan melakukan percobaan bunuh diri. Miris memang.
Fenomena sosial di atas sedang menjadi “tren” di kehidupan perempuan muda Indonesia saat ini, setidaknya dalam kaca mata saya. Saya pun menghubungkan fenomena kekerasan dalam pacaran dengan istilah bucin. Dalam pandangan umum, istilah bucin atau budak cinta memang identik dengan konotasi negatif, meski sebenarnya tidak selalu begitu. Mengapa saya mengaitkan kekerasan dalam pacaran dengan bucin?? Karena hampir 100% klien saya yang notabene adalah perempuan menjalani hubungan toksik dan “rela” menjadi korban kekerasan oleh pacarnya sendiri karena alasan ketergantungan mereka yang berlebihan terhadap sang pacar. Sikap dan perilaku yang cenderung dependen inilah yang mengarahkan mereka ingin untuk selalu bersama, merasa susah hati bila tidak saling berkomunikasi seperti biasanya, sering overthinking, takut kehilangan, rela berkorban apa pun demi sang pacar tanpa berpikir logis, dan bila sampai putus cinta mereka akan seperti layangan putus. Gundah gulana, bimbang, tak tentu arah.
Dalam pandangan saya pribadi, penyebab utama terjadinya ke-bucin-an ini adalah rendahnya self-esteem atau harga diri individu yang bersangkutan. Beberapa faktor bisa memengaruhi rendahnya self-esteem seseorang, namun yang paling krusial adalah pola pengasuhan dalam keluarga, terutama hubungan antara orang tua dan anak-anak mereka. Anak- anak yang diterima dan mendapat penghargaan yang baik dari keluarga biasanya akan memiliki self-esteem yang kuat dalam dirinya, begitu pula sebaliknya. Hal itu menurut saya akan sangat berpengaruh ketika si anak tumbuh menjadi remaja atau dewasa, mulai membina hubungan dengan lingkungan sosial yang lebih luas, termasuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.
Budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat kita menurut saya juga turut mempengaruhi terciptanya ke-bucin-an ini. Anak perempuan identik sebagai sosok yang ingin dimanja, butuh perhatian lebih, perlindungan, dan kasih sayang dari laki-laki. Kebutuhan akan afeksi mereka lebih besar dari pada laki-laki. Hal itu tidak salah, sesuai dengan fitrahnya, namun bila berlebihan tentu akan membahayakan bagi kesehatan mentalnya.
Untuk itu, saya lebih menekankan pentingnya upaya preventif dengan mendidik anak perempuan kita untuk bisa mandiri secara emosional. Didik mereka untuk terlebih dahulu mencintai diri mereka sendiri, menghargai diri mereka, dan memiliki pandangan yang positif tentang diri sendiri. Self esteem yang kuat bisa tumbuh sejak masa kanak-kanak dan dipupuk pada usia remaja, agar ketika menginjak usia dewasa mereka sudah menjadi pribadi yang matang dan siap berbagi kebahagiaan dengan orang lain, termasuk dengan pasangan mereka.
Jadi, bahagialah dulu dengan dirimu sendiri dan jangan jadi bucin ya adik- adikku sayang……