PERNIKAHAN USIA DINI BUKAN SOLUSI
Oleh: Mia Rosmiati
Sewaktu aku SMP, ada seorang lelaki datang ke kampungku. Dia berjualan obat herbal dari pintu ke pintu. Dia dekat dengan tetanggaku yang seorang guru ngaji. Si lelaki ini, sebut saja Aris, adalah saudara jauh si guru.
Ibuku sering membeli obat dari Aris. Dia sering datang ke rumahku, membawa berbagai jenis obat dan membual tentang khasiatnya. Suatu sore, Aris datang ke rumah dengan si guru ngaji. Sebagai pembukaan, si guru ngaji bertanya soal sekolahku, lalu mengatakan bahwa Aris berniat mengawiniku.
Si guru ngaji bilang, jika aku kawin dengan Aris, hidupku akan bahagia di dunia dan akhirat. Aku tak perlu bekerja karena Aris akan menghidupiku. Kutolak saat itu juga. Kukatakan bahwa aku tidak suka lelaki itu. Jujur, secara fisik dia bukan tipe lelaki yang kuinginkan.
Tubuhnya pendek dan ceking. Napasnya bau dan bibirnya hitam dengan gigi kekuningan. Kulitnya legam terbakar matahari, barangkali karena sering keluar masuk kampung untuk berjualan. Tentu saja, sebagai remaja aku punya angan-angan lelaki macam apa yang kelak akan kunikahi.
Tetapi, yang paling aku tak suka adalah bahwa Aris sudah tua. Umurku baru 15 tahun saat itu, sementara dia 37 tahun. Aku ingin sekolah, dan berharap pendidikan yang baik akan membuat hidupku turut membaik.
Setelah penolakan itu, si guru ngaji dan Aris tetap rajin mengunjungi ibuku. Aku menduga bahwa mereka merayu ibu untuk membujukku supaya mau kawin setamat sekolah. Meski dalam urusan lain ibu sangat kolot dan konservatif, tapi perkara pendidikan anak-anaknya, dia selalu mendukung. Ibu akan menyuruh kami untuk tetap sekolah meski dia harus bekerja lebih keras dari biasanya. Ibu juga menasihati kami agar tidak malu karena menunggak SPP berbulan-bulan atau terpaksa menyalin materi dan soal-soal karena tidak mampu membeli buku lembar kerja siswa (LKS).
Hingga satu waktu, saudaraku, seorang haji yang cukup dihormati, mendatangi rumah kami dan bertanya kenapa aku menolak Aris. Katanya, kalau aku menikah dengan Aris, aku akan bahagia dunia dan akhirat. “Jadi ibu rumah tangga saja dan mengurus keluarga. Kamu tidak perlu sekolah, ibumu butuh uang dan pasti akan dibantu sama Aris.”
Aku sakit hati dan marah. Betul, ibuku butuh uang. Kami miskin dan ibuku janda dengan empat anak yang masih kecil. Ibu berjualan lauk nasi untuk menghidupi kami sekeluarga. Tapi aku yakin, ibu tak setega itu, menyuruh aku dan saudara-saudaraku untuk kawin muda agar lepas dari kemiskinan.
Keluarga besarku tidak ada yang mendukungku untuk sekolah. Bagi mereka, sekolah adalah hal percuma karena membuang-buang uang. Apalagi bagiku, perempuan dan miskin, keinginan untuk sekolah tentu saja membikin mereka nyinyir. Yang membuatku kecewa, seorang saudara jauh yang menyekolahkan anaknya hingga sarjana pun nyinyir tak ada habisnya. Dia menyebutku tak tahu diri. Dia sesumbar soal anak bungsunya yang tak berniat kuliah, padahal dirinya mampu untuk menyekolahkan. Lalu dia menasihatiku untuk bekerja di pabrik dan membantu ibu membiayai sekolah adik-adikku.
Saat duduk di kelas tiga SMA, pernah tetanggaku hendak mengenalkanku pada seorang duda beranak dua. Duda itu seorang tentara dan ditinggal meninggal istrinya. Anaknya yang paling besar duduk di kelas dua SD, sementara yang bungsu berusia dua tahun. Tetanggaku itu bilang, bahwa si duda mau menungguku dan membiayai sekolahku. Bahkan dia, katanya bersedia menyekolahkanku kalau aku mau kuliah.
Suatu pagi, si tetangga datang ke rumahku, memberiku amplop berisi uang dan foto. Dia bilang, “Ini uang buat bayar SPP.” Kukembalikan amplop itu, lalu kubilang padanya, “Jangan jual aku. Aku ingin sekolah, bukan menikah.”
Sejak kejadian itu, hubungan kami dengan tetangga tersebut menjadi tidak akur. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin sekolah setinggi-tingginya. Aku ingin menjadi orang berpendidikan. Aku ingin hidupku
lebih baik. Aku melanjutkan sekolahku meski sering menunggak SPP, meski tidak pernah ikut study tour, meski harus menyalin materi dan soal-soal buku LKS, meski jarang punya uang saku, meski harus menahan malu karena telat membeli seragam olahraga. Aku tetap melanjutkan sekolah sampai tamat SMA. Selepasnya, aku kuliah sambil bekerja di sebuah organisasi pergerakan hingga lulus. Dari aktivitas dan jaringan yang kudapat di organisasi itu, aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan S-2 di Chonnam National University, Korea Selatan.
Ketika mengingat semua itu, aku merasa bahwa pilihan-pilihanku bukan sesuatu yang keliru.
Aku tak tahu aku akan berada di titik mana saat ini, jika dulu aku katakan “ya” pada tawaran- tawaran menyedihkan itu. Aku berharap, para orang tua mendukung anak-anak perempuannya untuk sekolah dan tidak memaksakan pernikahan di usia dini. Anak perempuan butuh sekolah, bukan menikah.