Trilogi Kartini

Review buku Trilogi Kartini, Wardiman Djojonegoro. September 2024

Kumpulan surat surat, biografi, inspirasi Kartini dan kesetaraan gender Indonesia.
Oleh Ilsa Nelwan, dr. MPH

Seorang perempuan Jawa pada awal tahun 1900 telah memperjuangkan emansipasi, pikiran dan cita-citanya. Ia dikenal di tingkat global jauh sebelum identitas Indonesia sebagai bangsa dikenal dan jauh sebelum kesetaraan gender menjadi topik diskusi publik.

Konteks dan review buku 

Tidak banyak buku yang ditulis tentang terjemahan surat surat Kartini, menyusul penerbitan Door Duisternis Tot Licht: Gedachten over en voor het Javaansche volk van Raden Adjeng Kartini (= DDTL atau Habis Gelap Terbitlah Terang: Pemikiran RA Kartini tentang dan untuk Rakyat Jawa) oleh Abendanon pada 1911 yang memuat 105 surat. Diketahui bahwa pada 1938 Armijn Pane menerjemahkan DDTL dengan 87 surat; Sulastin Sutrisno 1979 dengan 116 surat, FGP Jaquet 1986 dengan 110 surat, Joost Coté 2014 dengan167 surat dan buku yang ditulis Wardiman 2024 ini dengan 179 surat.
Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro adalah guru besar, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Indonesia tahun 1993-1998 pada kabinet pembangunan VI. Buku ini memperkaya bahan bahan analisa tentang Kartini. Terdapat 33 foto yang menggambarkan keadaan kehidupan Kartini lebih dari 120 tahun yang lalu.

Ada tiga jilid buku dalam trilogi ini , yang utama adalah terjemahan kumpulan surat suratnya. Dalam jilid I, Kartini : Kumpulan Surat surat 1899-1904, bab I memuat daftar penerima surat Kartini, seluruhnya 17 orang. Penerima terbanyak adalah Ny Rosa M Abendanon, istri mantan Direktur Pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Terjemahan surat surat Kartini dalam buku ini merupakan terjemahan dari surat suratnya saja tanpa “pengarahan” dari penulis sehingga bisa menjadi bahan yang bebas diinterpretasi oleh pembaca. Cerita pendek yang diterbitkan: lima cerita pendek yang diterbitkan dan dua bagian dari DDTL tentang pemikiran dan puisi Kartini. Tulisan budaya berisi tiga artikel penting. Memo pendidikan dan Kutipan surat panjang. Terlihat disini bahwa Kartini adalah penulis berbakat yang secara sadar berjuang menggunakan penanya untuk perubahan.

Jilid II Hidupnya, Renungannya dan Cita-citanya, berisi cuplikan dari buku biografi Sitisoemandari Soeroto masih menggunakan DDTL sebagai bahan biografi Kartini. Jilid II dilengkapi Wardiman dengan menonjolkan beberapa surat Kartini yang dipotong oleh Abendanon dan 74 surat yang tidak dimuat dalam DDTL.

Ada sepotong kutipan surat Kartini pada Stella di bagian I: “sebelum kau menulis padaku, aku belum pernah memikirkan bahwa aku, seperti yang kau katakan adalah “keturunan bangsawan”. Apakah aku seorang putri? Bukan, seperti engkau juga bukan”. Di jilid I halaman 44 ada kalimat kalimat menarik dari surat itu: ”Bagi saya hanya ada dua kebangsawanan: Bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Menurut saya orang-orang yang membanggakan apa yang disebut “keturunan bangsawan” adalah sangat bodoh. Apa gerangan jasa seseorang bergelar graaf atau baron?”. Jelas bagi Kartini kebangsawanan dari turunan itu tidak berarti tanpa kerja yang nyata.

Kartini dilahirkan pada 21 April 1879 sebagai anak kelima dari bupati Sosroningrat. Berkat sikap ayahnya yang progresif itu, ia bisa masuk sekolah dasar Belanda, namun harus tetap masuk pingitan pada umur 12 tahun. Dalam pingitan 1892-1898 Kartini membebaskan diri dengan membaca berbagai buku yang diberikan oleh Ayahnya, kakaknya dan teman teman Belanda-nya. Sehari-hari ia mempelajari bacaan-bacaan itu secara mandiri kemudian bisa menguasai bahasa dan menulis dalam bahasa Belanda dengan sangat baik.

Kartini mengembangkan sikap anti feodalisme, termasuk etiket kaku yang diterapkan secara berlebihan namun biasa dilakukan di kalangan bangsawan Jawa saat itu. Ia juga mengkritisi sikap kolonial Belanda pada bangsa Jawa. Sikap anti poligami, perkawinan dengan beberapa istri, dikembangkannya sejak ia masih belia. Kartini menyaksikan dari dekat bagaimana poligami menimbulkan penderitaan bagi perempuan. Pada surat suratnya Kartini sangat menentang poligami, dan menyatakan tidak akan menikah dalam konteks demikian. Kartini mengamati bagaimana suami istri bisa memiliki relasi setara dari kenalan Belanda-nya.

Pada usia yang masih remaja dia sudah berhasil mendobrak tradisi di dalam kehidupan pribadinya. Mengajak kedua adiknya dalam hubungan yang setara, lebih bebas, dengan menerapkan slogan revolusi Perancis Liberté, égalité, fraternité (kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan). Istri asisten Residen Ny Ovink Soer yang tinggal di seberang Kabupaten menjadi teman dekat dari “tiga serangkai” Kartini, Roekmini dan Kardinah sejak dalam pingitan. Ny, Ovink menjadi mentor yang memperkenalkan bahasa dan sastra Belanda, juga pandangan Barat berpikir dan melihat jauh keluar.

Kartini mengungkapkan bagaimana pengaruh Ayahnya dalam hal mencintai rakyat. Sejak mereka kecil sering diajak melihat rakyat yang menderita. Contohnya kisah anak umur enam tahun dengan dua adik yang harus dibantu dengan memotong rumput. Anak itu bercerita ia hanya makan satu kali pada malam hari. Kartini membandingkan betapa jauh bedanya dengan kebiasaan mereka di kabupaten, makan tiga kali sehari. Ia harus bekerja untuk membebaskan diri sehingga bisa menolong rakyat yang menderita.

Artikel Pernikahan Orang Kodja yang dibuat saat ia baru berumur 16 tahun dimuat sebagai tulisan Sosroningrat (ayah Kartini) pada Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde voor Ned Indie tahun 1898 tiga tahun kemudian. Setelah itu Kartini dikenal di masyarakat Belanda dan tulisan tulisannya dimuat dalam majalah De Echo dan De Locomotief, surat kabar terkenal di Hindia Belanda.

Atas desakan Residen dan Ny Ovink pingitan Kartini dan kedua adiknya berakhir pada 1898. Tiga serangkai itu ikut serta mengirimkan karyanya, kerajinan pribumi dalam pameran Nationale Tentoonstelling voor Vrouwenarbeid (Pameran nasional Karya Perempuan) pada tahun 1898 di Den Haag, Nederland. Karya yang dipamerkan ini disertai suatu tulisan: “Mewarnai Batik Biru Tulisan Tangan, Jepara 1898”. Selanjutnya tulisan ini menjadi bagian penting dari buku “De batik Kunst in Nederlandsch Indie en Haar Geschiedenis” (Kesenian Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya) oleh G.P Rouffaer dan Dr H.H. Juynboll.

Saat Kartini berumur 20 tahun , tahun 1899, ia memasang iklan dalam majalah De Hollandsche Leile untuk mencari sahabat pena dari Belanda. Itulah awal persahabatan dan korespondensinya dengan Estelle Zeehandelaar (Stella) seorang feminis, berumur lima tahun lebih tua dari Kartini. Ia anggota dari Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP) sahabat wakil SDAP di parlemen: Ir H.H van Kol. Surat menyurat Stella dan Kartini berlangsung lancar. Stella sangat menghargai surat-surat Kartini, karena banyak informasi dari Kartini yang belum diketahuinya. Ia mengagumi kecerdasan dan sikap berkemajuan Kartini yang melebihi gadis-gadis Belanda sebayanya.

Tahun 1900 merupakan awal pertemuannya dengan Jaques dan Rosa Abendanon saat Jaques Abendanon sebagai Direktur Urusan Pendidikan Rakyat Pribumi dari pemerintah Hindia Belanda dalam kunjungannya menemui Bupati Jepara. Kartini dan kedua saudaranya sangat terkesan dengan Rosa Abendanon dan segera saja mereka merasa dekat. Sebaliknya Rosa Abendanon juga sangat terkesan dengan ketiga gadis putri Bupati Jepara yang bisa berdiskusi dalam bahasa Belanda dan berpengetahuan luas. Pada surat-suratnya Kartini banyak berdiskusi tentang bagaimana pendidikan selanjutnya akan ditempuh oleh Kartini dan kedua saudaranya.

Di jilid I diungkapkan ada sembilan sahabat pena Kartini dan bisa disimpulkan bahwa bagi Kartini surat menyurat menjadi media pendidikan mendiskusikan keadaan masyarakat di Jawa bagi sejumlah elite Belanda, diarahkan pada mereka agar bisa memengaruhi pengambilan keputusan pejabat publik.

Kartini mulai mempersiapkan sekolah percobaan kecil dengan menerapkan konsep modern hubungan hangat antara guru dan murid, menggunakan bahasa Jawa dalam proses belajar mengajar. Tahun ini ia juga sudah menjadi agen Oost en West untuk industri kerajinan ukiran kayu Jepara dan bisa menyejahterakan para perajin ukiran itu.

Tahun 1902, Ir Van Kol Tokoh partai di Perlemen Belanda berkunjung ke Jepara, sempat berbicara langsung dengan Kartini. Ia sangat terkesan oleh kesungguhan Kartini untuk belajar di negeri Belanda. Kunjungan Van Kol dimuat di De Locomotief antara lain bahwa Van Kol akan memperjuangkan kepentingan Kartini dan Roekmini di parlemen Belanda tanpa perantaraan pemerintah Hindia Belanda. Menteri Idenburg menjanjikan subsidi biaya pendidikannya di Nederland, setelah mereka menerima panggilan untuk berangkat.

Nota Kartini berjudul Berilah Pendidikan pada Bangsa Jawa merupakan lampiran permohonannya untuk bantuan pemerintah belajar di negeri Belanda. Isinya adalah argumen bagaimana pendidikan perempuan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Hindia Belanda. Kartini berpendapat bahwa pendidikan merupakan hak semua orang, bukan hanya bagi kaum bangsawan. Pendidikan penting untuk peningkatan moral, walaupun tidak semua orang terdidik bermoral baik. Nota Kartini merupakan kritik terhadap berbagai bidang kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang seringkali menelantarkan rakyat, demi mengejar keuntungan sebesar besarnya. Tidak mengherankan bahwa Kartini dikenal di kalangan kaum muda yang kemudian mendirikan Budi Utomo. Surat-surat Kartini mengungkapkan hak bangsanya untuk merdeka.

Abendanon dan istrinya tidak menyetujui rencana Kartini dan Roekmini untuk belajar di negeri Belanda. Pada 1903 Abendanon berhasil mengubah rencana Kartini untuk belajar di Nedherland dialihkan menjadi belajar di Batavia.

Pada bulan Juli 1903 saat Kartini menunggu jawaban atas permohonannya kepada Gubernur jenderal, Kartini yang sudah menyatakan tidak akan menikah tiba tiba dilamar oleh Bupati Rembang. Persetujuan pemerintah Hindia Belanda untuk membiayai pendidikannya di Batavia datang terlambat sehari, setelah ia menerima lamaran Bupati Rembang. Ada syarat-syarat yang ditentukan Kartini: Bupati Rembang bisa menyetujui gagasan dan cita cita Kartini dan di Kabupaten Rembang, Kartini bisa membuka sekolah mengajar anak perempuan seperti yang sudah dilakukan di Jepara. Untuk perkawinannya sendiri ia juga menentukan syarat tidak menyembah kaki mempelai pria, disamping itu dia akan berbicara bahasa jawa “ngoko” dengan suaminya. Hal ini menggambarkan keinginan Kartini untuk relasi sederajat dengan suami, suatu hal yang pada zamannya merupakan perubahan yang radikal. Syarat-syarat ini diterima oleh bupati Rembang, mereka menikah dan Kartini meninggal setelah melahirkan tahun 1904.

Dalam buku II hal 289 ada bagian “Pengorbanan Kartini bersedia menikah untuk menolong kakaknya Sosrokartono”. Ditemukan dari surat surat yang tidak terpotong, kesediaan Kartini untuk menikah ini tidak sampai diketahui orang lain. Sosrokartono bisa menyelesaikan studinya setelah mendapat beasiswa. Keputusan Kartini untuk menikah itu menggambarkan bahwa bagi Kartini perkawinan bersifat fungsional. Keputusannya untuk menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri dan memiliki tujuh orang anak didasari kasih sayang pada Ayahnya. Namun Kartini menyadari bahwa keputusannya untuk menikah dengan Bupati Rembang akan merusak citra perjuangannya menentang poligami. Terbukti teman-temannya di Belanda yang tidak mengenal budaya lokal perkawinan Jawa, menyatakan Kartini tidak konsekwen pada keputusannya untuk tidak menikah.

Jilid III: Inspirasi Kartini dan Kesetaraan Gender Indonesia. Judul buku yang sangat menarik. Ada kata pengantar dari empat orang tokoh perempuan yang secara tersirat diketengahkan sebagai contoh perempuan Indonesia yang berhasil, menjadi menteri dan direktur utama BUMN. “Kartini Ikon emansipasi Perempuan Indonesia” adalah pendapat Wardiman tentang sosok Kartini pahlawan Indonesia: Bagaimana Kartini melalui surat-suratnya dikenal di seluruh dunia melalui DDTL yang ditulis Abendanon tahun 1911. Surat-surat Kartini ternyata memiliki arti penting dalam dokumentasi sejarah internasional. Melalui bahan bacaannya Kartini bisa memahami gerakan feminis. Dengan kemampuan menulisnya Kartini mampu menggabungkan wacana progresif feminis Belanda dengan pemikiran kritis terhadap tradisi Jawa dan kolonialisme Belanda. Surat-surat Kartini menggambarkan bahwa sampai 1904 pemerintah kolonial enggan menerapkan politik etis, memperluas pendidikan bagi perempuan pribumi.

Data statistik yang diungkapkan di jilid III menyimpulkan bahwa sudah terjadi peningkatan kesetaraan gender di Indonesia. Pembahasan tentang kekerasan terhadap perempuan, lebih pada data dan penggambaran situasi perempuan. Namun tidak terungkap bahwa sebab mendasar dari kekerasan terhadap perempuan adalah ketidaksetaraan gender.

Di Indonesia, laporan BPS tahun 2021 mengungkapkan satu dari lima perempuan berumur 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan dari pasangan atau mantan pasangannya dalam 12 bulan terakhir. Meskipun angka kekerasan terhadap perempuan tinggi dan terus meningkat, kondisi ini dianggap sebagai “fenomena gunung es di lautan”. Hal ini disebabkan karena banyak korban yang belum terlaporkan dan belum ditemukan. Studi Barometer Kesetaraan Gender tahun 2021 dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengungkapkan : lebih dari 70 persen perempuan pernah mengalami kekerasan seksual, tetapi sebagian besar tidak melapor karena takut dan tidak tahu ke mana melapor. Sehingga 57 persen kasusnya tidak dilanjutkan. Kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual masih terbatas, ditunjukkan oleh persepsi hampir 70 persen responden bahwa perempuan dapat menjadi korban kekerasan karena berpakaian terbuka, dan 63 persen responden menganggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang wajar.

Sampai saat ini belum ada data tentang pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat, tenaga teknis maupun pengambil kebijakan tentang kesetaraan gender. Begitu pula sikap para pemimpin dan jajaran pemerintah tidak menggambarkan teladan kesetaraan. Masyarakat Indonesia masih merupakan masyarakat tradisional yang menjunjung tinggi perbedaan kedudukan. Tantangannya bagaimana upaya untuk mencegah kekerasan gender di tengah budaya patriarki (laki-laki yang berkuasa dan perempuan menjadi sub-ordinatnya) yang masih kental di Indonesia.

Ketidaksetaraan gender perlu dihadapi bersama oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Jilid III bisa lebih menarik kalau diketengahkan juga upaya peningkatan kesetaraan gender yang dilakukan oleh pihak non pemerintah saat ini.

Ada yang menarik dari jilid III yaitu pengalaman Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang sudah berkiprah sejak 2001 sebagai bentuk program peningkatan kesetaraan gender. Sampai tahun 2023 PEKKA telah menjangkau 27 Provinsi diantara 38 provinsi di Indonesia. Mengorganisir hampir 90 ribu perempuan kepala keluarga. Menurut PEKKA, satu diantara empat rumah tangga dikepalai oleh perempuan. Terbitnya UU nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan memberikan dasar hukum istilah Perempuan kepala keluarga , walaupun UU perkawinan 1974 yang telah direvisi tahun 2019 tetap menyatakan suami adalah kepala keluarga. Tulisan ini diakhiri dengan kebanggaan lahirnya peraturan menteri desa nomor 13 tahun 2020 tentang prioritas dana desa. Tahun 2021 PEKKA disebut sebagai salah satu penerima manfaat melalui kegiatan bantuan sosial dan padat karya.

Penutup 

Buku trilogi Kartini ini memberikan sudut pandang baru tentang Kartini, yakni: Kartini sebagai pahlawan Indonesia, biografi yang bisa digunakan sebagai bingkai untuk mengikuti surat surat Kartini yang paling lengkap, dan inspirasi Kartrini untuk perjuangan kesetaraan gender.
Kalau inspirasi Kartini adalah kesetaraan gender, buku trilogi Kartini ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang menyebabkan setelah 120 tahun bangsa kita masih begitu jauh untuk mencapai kesetaraan itu?. Mungkin diperlukan langkah-langkah yang lebih nyata, yang menyeluruh disertai penerapan aturan dalam praktek-praktek mulai dari rumah tangga hingga lembaga-lembaga publik bahwa kesetaraan gender diterapkan secara menyeluruh di Indonesia.
Semoga terbitnya Trilogi Kartini dari Wardiman Djojonegoro ini meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia tentang pahlawan nasional Kartini. Dan upaya berbagai pihak untuk perjuangan kesetaraan gender, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments